Oleh Prof. Dr.H.Abdul Malik, M.Pd
Budayawan Kepri
Hari itu Sabtu, 29 April 2000. Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, kedatangan tamu istimewa, Presiden IV Republik Indonesia (RI), K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang kehadirannya memang ditunggu.
Di antara agenda kegiatannya membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera di Masjid Agung Annur. Dalam pidato beliau ditegaskan mustahaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tema pidatonya, Gus Dur menyatakan pengakuan resmi Pemerintah RI terhadap jasa Raja Ali Haji rahimahullah (RAH) mempersatukan bangsa.
“Tanpa jasa beliau itu (RAH, pen.), kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini.” Pernyataan Presiden karismatik itu disambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh dan membahana di ruang masjid kebanggaan rakyat Riau itu.
Bagaimanakah Gus Dur, dalam kapasitas beliau sebagai Presiden RI, boleh membuat simpulan yang signifikan itu? Adakah karena beliau berkunjung ke Provinsi Melayu (sekarang Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, sejak 2002), lalu beliau hendak menyenangkan hati rakyat dari kalangan Melayu? Perian akan datang ini menyerlahkan kecerdasan dan kearifan Presiden yang juga seorang Kyai itu dalam perkara ini.
Kejeniusan RAH dalam bidang bahasa telah diketahui luas sejak lama, bahkan oleh pemimpin penjajah Belanda. Pada1849 Gubernur Jenderal Rochussen di Batavia membuat keputusan penting. Pertama, Pemerintah Hindia-Belanda akan mendirikan sekolah bagi anak-anak pribumi. Kedua, bahasa pengantar pendidikan pribumi itu adalah bahasa Melayu.
Alasannya, bahasa Melayu kala itu telah tersebar luas ke seluruh nusantara. Dalam pada itu, para raja dan seluruh rakyat nusantara menolak penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pendidikan di Hindia-Belanda (Indonesia, sekarang). Masalahnya adalah bahasa komunikasi sehari-hari tak serta-merta dapat digunakan sebagai bahasa pendidikan. Dalam hal ini, bahasa pendidikan harus memenuhi standar kebakuan yang memadai.
Dalam konteks itulah, Pemerintah Hindia-Belanda merekomendasikan karya RAH sebagai rujukan utama. Pertama, Syair Abdul Muluk (1846) telah dikenal luas, diterjemahkan, dan diterbitkan di majalah berbahasa Belanda Tijdschrift voor Nederlands Indie (1847). Kedua, Gurindam Dua Belas (1847) sebagai karya agung, juga dimuat dalam Tijdshrift van het Bataviaasch Genootschap ll, 1854. Kedua karya berbahasa Melayu Tinggi Kesultanan Riau-Lingga itu telah tersebar luas. Jadi, karya RAH telah menyelesaikan persoalan rujukan bahasa pengantar pendidikan bagi pribumi di Hindia-Belanda.
Dalam kelanjutan programnya, Belanda pada 1857-1873 mengutus pakar bahasa mereka H. von de Wall ke Kesultanan Riau-Lingga (Tanjungpinang) untuk mendalami bahasa Melayu. Beliau ditugasi menyusun buku Tata Bahasa Melayu serta Kamus Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu yang akan digunakan dalam pendidikan pribumi. Berdasarkan penilaian Pemerintah Hindia-Belanda, bahasa Melayu Riau-Lingga dijadikan acuan karena masih terpelihara dan paling murni di antara dialek Melayu yang ada di nusantara.
Von de Wall menunjuk RAH dan Haji Ibrahim (juga penulis ternama Riau-Lingga) sebagai konsultan pakar. Bersamaan dengan tugas barunya itu, RAH menyelesaikan buku beliau Bustan al-Katibin, buku tata bahasa dan ejaan baku bahasa Melayu,1850. Berikutnya, beliau menerbitkan Kitab Pengetahuan Bahasa, kamus bahasa Melayu, 1858. Dengan demikian, pendidikan pribumi mendapatkan rujukan yang lebih baik tentang tata bahasa dan kosakata bahasa Melayu.
Kedua karyanya itu telah mencatatkan RAH sebagai pakar bahasa (linguis) pertama dari kalangan pribumi. Lebih daripada itu, karya beliau menjadi rujukan utama bagi pendidikan anak bangsa nusantara kala itu.
Dalam pada itu, Haji Ibrahim pun menulis buku etimologi (asal-usul kata bahasa Melayu). Jilid I diterbitkan pada 1868 dan jilid II pada 1872. Kedua buku itu diterbitkan di Batavia.
Setelah keputusan Rochussen, Pemerintah Hindia-Belanda membuat keputusan penting baru tentang pendidikan bagi pribumi. Pada 1872 diberlakukan “Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi”. Di antaranya pada Pasal 28 tertuang kebijakan berikut.
“Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu. Bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Kepulauan Riau.”
Teserlah bangat pengaruh RAH dan atau bahasa Melayu Tinggi Riau-Lingga di dalam peraturan yang dibuat Belanda itu. Dalam hal ini, hasil pendidikan yang diperoleh H. von de Wall dari RAH dan Haji Ibrahim jelas manfaatnya. Kalangan terdidik pribumi pun semakin banyak yang mahir berbahasa Melayu baku.
Waktu terus berlalu. Sampailah ke masa pergerakan nasional. Pada 28 Agustus 1916 Ki Hajar Dewantara diundang sebagai pembicara Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda. Dalam kongres itulah, beliau mengusulkan pemakaian bahasa Melayu untuk pergerakan kebangsaan dan bahasa persatuan setelah Indonesia merdeka. Sebuah gagasan yang cerdas, rasional, dan sangat patriotik.
Pada 2 Mei 1926 dilaksanakan Kongres I Pemuda Indonesia di Jakarta. Dalam kongres ini juga dibahas usulan tentang bahasa nasional. M. Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia. M. Tabrani juga mengusulkan bahasa Melayu, tetapi dengan perubahan nama menjadi bahasa Indonesia. Usul M. Tabrani diterima seluruh peserta kongres.
Pada 28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres II Pemuda Indonesia, juga di Jakarta. Putusan Kongres II ini mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang disebut sebagai bahasa persatuan, dijunjung oleh seluruh anak bangsa Indonesia.
Lima tahun setelah Kongres II Pemuda Indonesia masih ada juga pihak yang tak memahami apakah yang dimaksud dengan bahasa Indonesia. Berhubung dengan itu, S.T. Alisjahbana menjelaskannya dalam Majalah Pujangga Baru, 1933.
“Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang [antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia] itu tiada beralasan sedikit juapun. Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang se-sungguh2nya nyata antara bahasa yang disebut sekarang bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut bahasa Melayu.”
Bahkan, sepuluh tahun berikut pun hal itu masih diperdebatkan. Itulah sebabnya, Ki Hajar Dewantara dalam Kongres I Bahasa Indonesia, Solo, 1938, menjelaskannya.
“Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu. Dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’.”
Perdebatan tak kunjung berakhir. Oleh sebab itu, Muhammad Hatta, Bapak Proklamator dan Wakil Presiden I RI menjadi ikut menegaskannya.
“Pada permulaan abad ke-20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Maleisch. Ada yang menyebutnya berasal [dari] logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan Pulau Riau,” (Pelangi 1979, 154-155).
Bersabit dengan semua itulah, Pemerintah RI, kemudian, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia kepada Raja Ali Haji. Beliau merupakan tokoh utama perjuangan bahasa Melayu menjadi Bahasa Nasional RI, yang pada gilirannya memperkokoh persatuan bangsa seperti kata Gus Dur. Penyerahan plakatnya dilaksanakan oleh Presiden VI RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Jakarta, 11 November 2004.
Mengapakah bahasa Melayu Riau-Lingga yang dikembangkan dan dibina oleh RAH terkesan begitu istimewa? Tanyaan itu dijawab oleh van Ophuijsen (1910), antara lain, sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu. Dan, strukturnya mantap sehingga dapat menjadi bahasa internasional. Itulah di antara ciri khas terpentingnya dan paling menentukan dibandingkan bahasa lain di nusantara. Kalam khatam kajinya, bahasa Indonesia tiada lain adalah bahasa Melayu.@