Kelayakan Pulau Penyengat Menjadi Warisan Dunia (2)

Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.

Pengantar: Pulau Penyengat, yang terletak di wilayah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), tidak saja dikenal sebagai pusat kerajaan melayu tempo doeloe, tapi juga masih mengemuka hingga hari ini. Itu sebab, Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ingin menjadikan pulau bersejarah itu sebagai warisan dunia. Berikut tulisan budayawan serumpun melayu, Prof. Dr. Abdul Malik, M.Pd tentang Pulau Penyengat Warisan Dunia. Selamat menikmati.

Dengan pemindahan pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda (sejak 1806) dan Yang Dipertuan Besar (sejak 1900) ke sana, Pulau Penyengat mencatatkan dirinya sebagai pulau terkecil di dunia  (luasnya hanya lebih kurang 1,7 km2) yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan besar. Betapa tidak?

Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang merupakan sebuah kerajaan Melayu yang cukup besar. Wilayahnya meliputi sebagian Indonesia (Provinsi Kepulauan Riau, sebagian Provinsi Riau, dan sebagian Provinsi Jambi), sebagian Malaysia (Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang, juga Terengganu sebelumnya), dan Singapura sekarang.

Menjadi Pulau Maskawin satu-satunya di dunia merupakan keistmewaan Pulau Penyengat yang tiada bandingannya. Kenyataannya pernah menjadi ibukota negara (kesultanan) besar, padahal ukuran pulaunya sangat kecil menjadikan Pulau Penyengat Indera Sakti lebih istimewa lagi. Ada hal lain lagi yang membuatnya semakin istimewa.

Pulau Penyengat Indera Sakti juga diharumkan oleh seorang yang sangat setia berperan sebagai penjaga sekaligus pembela adat-istiadat dan tamadun Melayu. Beliau tiada lain adalah Engku Puteri Raja Hamidah, istri Sultan Mahmud Riayat Syah. Beliaulah si pemilik sah pulau tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas.

Setelah menikah dengan Sultan Mahmud Riayat Syah, Engku Puteri diamanahkan oleh suaminya untuk menjaga regalia Kesultanan. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran kerajaan yang digunakan, antara lain, untuk kelengkapan penabalan (pelantikan) Sultan Riau-Lingga. Tanpa regalia, pengangkatan seorang sultan menjadi tak sah menurut hukum dan adat-istiadat Melayu.

Pada 12 Januari 1812 Sultan Mahmud Riayat Syah, suami Engku Puteri, mangkat (wafat) di Daik, Lingga. Menurut wasiat Sultan kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar, Tengku Abdul Rahman, putra kedua Baginda Sultan, yang harus dilantik untuk menggantikan sultan yang telah mangkat. Akan tetapi, Engku Puteri tak mendengarkan secara langsung wasiat itu dari suaminya. Beliau berkeberatan Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi sultan.

Menurut adat-istiadat Melayu, putra tertua-lah yang harus menggantikan ayahandanya sebagai sultan. Dalam hal ini, seyogianya Tengku Husein, kakanda Tengku Abdul Rahman, yang harus menggantikan ayahandanya karena beliau putra sulung (tertua). Alhasil, karena Raja Jaafar dan para pembesar istana lebih cenderung melaksanakan wasiat sultan, Tengku Abdul Rahman yang ditabalkan menjadi sultan untuk menggantikan ayahandanya.

Karena tak sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku selama ini, Engku Puteri tak mau menyerahkan regalia sebagai kelengkapan pelantikan Sultan Abdul Rahman Syah I. Akibatnya, penabalan itu cacat secara adat.

Tujuh tahun berikutnya, Januari 1819, Tengku Husein dilantik pula oleh Thomas Stanford Raffles menjadi Sultan Singapura. Kala itu Singapura merupakan wilayah ketemenggungan di bawah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Seyogianya, Singapura tak berhak melantik seorang sultan. Pelantikan Sultan Husein Syah, kakanda Sultan Abdul Rahman Syah I, itu merupakan upaya Raffles untuk memecah-belah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang belum lama ditinggalkan oleh pemimpin besarnya yang tak pernah mampu dijamah oleh kuasa asing, baik Belanda maupun Inggris.

Pihak Singapura yang disokong oleh Inggris pada 1821 berusaha mendapatkan regalia dari Engku Puteri agar keberadaan Tengku Husein sebagai Sultan Singapura menjadi sah. Caranya tergolong sangat keji yakni mencoba menyogok Engku Puteri Raja Hamidah dengan 30.000 ringgit Spanyol.

Akibatnya, Engku Puteri sangat tersinggung dan beliau sangat marah, terutama kepada Engku Long (sapaan akrab Sultan Husein Syah). Upaya Singapura itu gagal sehingga keberadaan Sultan Singapura tak pernah mendapatkan legitimasi dari Kesultanan Melayu alias tak sah menurut adat-istiadat dan hukum bangsa Melayu. (bersambung)

593 views


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *